Nggak Ada Yang Instan Di Dunia Ini, Kerjakan Apa yang Bisa, Karena Gengsi Tidak Membuahkan Kesuksesan

Nggak Ada Yang Instan Di Dunia Ini, Kerjakan Apa yang Bisa, Karena Gengsi Tidak Membuahkan Kesuksesan

Bagi saya kesabaran adalah esensi kesuksesan. Sukses membutuhkan kerja keras, fokus, ketekunan, dan persistensi dalam kurun waktu panjang. Karena itu sukses butuh ekstra kesabaran. Ungkapan ini bagi sebagian besar orang mungkin dianggap jadul, puritan, bahkan menjadi bahan tertawaan. Sama dengan ungkapan Jawa: “alon-alon waton klakon” yang dianggap usang dan mengalami pemiskinan makna.

Wajar, karena di tengah dunia yang serba cepat, semua-semua haruslah cepat, termasuk kesuksesan. “Sukses yang lambat mah nggak cool, kuno, jadul!!!” begitu kira-kira kata para young digital entrepreneurs yang selalu terobsesi menjadi overnight billionaire saat startup yang baru didirikannya mendapatkan suntikan dolar dari kapitalis global.

Tak Ada yang Instan
Dulu seminar-seminar motivasi begitu happening di negeri ini. Judul-judul seminar seperti: “Cara Cepat Menjadi Kaya” atau “Menjadi Kaya Raya di Usia Muda” atau “Kaya Mendadak Lewat Properti” begitu laris-manis dipadati peserta. Begitu banyak orang di negeri ini melihat kesuksesan sebagai sesuatu yang instan dan gampang diwujudkan. Mereka terbuai oleh tips-tips indah para motivator/inspirator yang menunjukkan seolah-olah jalan menuju sukses itu lempeng, mudah, dan bisa diraih dengan cepat.

Di ruang seminar motivasi kita berteriak keras “saya bisa!!!”, namun seringkali kita menggampangkan kenyataan bahwa “bisa” itu membutuhkan kemampuan, perjuangan, ketekunan, disiplin, dan persistensi selama setahun, lima tahun, bahkan puluhan tahun. Kita maunya perjuangan dan kerja keras setahun, lima tahun, atau puluhan tahun itu “dimampatkan” menjadi hanya beberapa detik saat kita bersemangat meneriakkan “saya bisa!!!” di ruang seminar.

Itu sebabnya seminar motivasi kebanyakan tak mampu menjadikan orang lebih hebat dalam mencapai sukses. Semangat doang, kerja kagak. Dengan semangat membara seolah kerjaan lima atau sepuluh tahun bisa diselesaikan dalam sekejab. Sukses itu butuh perjuangan tak kenal lelah dalam waktu lama. Sukses butuh kesabaran melakukan hal-hal kecil dalam jumlah besar, dalam kurun waktu lama. Sukses butuh proses, bukan sesuatu yang instan. Sukses tak semudah dan secepat seperti diomongkan para motivator/inspirator.

Marathon, Not Sprint
By default sukses itu lambat dan perlu waktu. Gampang saja argumentasinya, karena sukses membutuhkan kemampuan, ekspertis, pengalaman, kearifan, kerja keras, fokus, disiplin, dan ketekunan, yang semua itu membutuhkan waktu untuk memupuknya (Ingat, kita tidak sedang ngomongin sukses karena menang lotere atau dapat warisan lho!!!). Semakin panjang waktu untuk memupuk kemampuan dan pengalaman, maka semakin matang pula kemampuan dan pengalaman itu, sehingga semakin kokoh pula pondasi kesuksesan yang akan kita tuai.

Karena itu saya berani mengatakan bahwa success is more about a marahon game than a sprint game. Sosok sukses lebih menyerupai pelari maraton ketimbang pelari cepat. Sukses adalah proses panjang untuk menggali kemampuan, menimbun pengalaman, dan mengendapkan kearifan. Sukses adalah buah kerja keras, ketekunan, persistensi, dan tahan banting dalam jangka panjang. Karena semua itu membutuhkan waktu lama maka kuncinya adalah kesabaran. Semua itu membutuhkan proses tahap demi tahap, lapis demi lapis, sampai pada akhirnya tujuan yang kita harapkan bisa terwujud.

Marathon game berarti bekerja secara fokus, disiplin tahap demi tahap, tekun, telaten, konsisten, persisten dalam kurun waktu lama. Sementara sprint game adalah kerja yang all out, semua sumberdaya dikerahkan, kalau perlu dipaksakan, kalau bisa di-shortcut, dan semua dilakukan dengan serba cepat dan instan. Saya kok lebih pas dengan model kesuksesan yang pertama ketimbang yang kedua. Seperti halnya di dunia kuliner, slow food pasti akan lebih enak dari fast food. Maka dalam hal kesukesan, slow-cooked success pasti lebih kokoh pondasinya ketimbang fast-cooked success.

Apakah dengan demikian kita tidak boleh sukses secara cepat? Bukan begitu juga. Poin saya, bahkan ketika kita mencapai sukses dalam waktu supercepat, maka itu belumlah sukses yang final. Masih banyak ujian yang harus kita lewati untuk mencapai kesuksesan yang sesungguhnya. Jadi jangan sampai sukses yang cepat membuat kita berpuas diri, malas, gampang menyerah, bahkan takabur sehingga kita tidak bisa mewujudkan sukses-sukses berikutnya.

Ambil contoh Steve Jobs. Steve mencapai kesuksesan dalam semalam di usia 22 tahun saat meluncurkan Apple II. Tapi itu bukanlah sukses Steve yang sesungguhnya, karena kemudian ia tergelincir dan jatuh berkeping-keping saat didepak dari Apple. Sukses sesungguhnya adalah saat ia mengembalikan Apple dari ambang kehancuran menjadi perusahaan paling bernilai di dunia hingga saat ini.

Pengalaman, kearifan, kerja keras, ketekunan, persistensi, dan (jangan lupa) kesabaran, menempa Steve menjadi seorang yang matang untuk mencapai sukses yang sesungguhnya. Ia meraih kesuksesan yang sesungguhnya di usia kepala empat, sebuah kurun waktu yang panjang.